Loader

Gara-gara benang, penjualan Sritex cemerlang

Dunia sedang dilanda perlambatan ekonomi serta perang dagang antara dua kutub ekonomi terbesar di dunia, Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Tapi PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex masih bisa mencatat penjualan cemerlang gara-gara benang. Direktur Utama Sritex, Iwan Setiawan Lukminto, mengatakan bahwa perusahaannya mencatat peningkatan penjualan kotor di atas rerata industri yang sedang cemas melihat perang dagang.

Pada Semester I 2019, penjualan kotor perseroan tercatat naik 16,16 persen dibandingkan dengan periode serupa 2018 dari AS $543,76 juta menjadi AS $631,54 juta (year on year/yoy). “Penjualan yang kuat tersebut didukung oleh dominannya penjualan benang yang berkontribusi sebesar 40,1 persen terhadap total penjualan hingga Semester I 2019,” ujar Iwan Setiawan dalam temu media dalam HUT Sritex Group ke-53 di kantor pusatnya di Sukoharjo, Jawa Tengah, Jumat (16/8/2019). Pada semester I 2019 pula, Sritex –satu di antara produsen tekstil terbesar di Indonesia– mencatat kenaikan kinerja ekspor ke AS dan Amerika Latin hingga 3,2 kali lipat. Total nilai ekspor Sritex ke AS mencapai AS $63,25 juta dari sebelumnya AS $15,98 juta. Iwan Setiawan menjelaskan, kontribusi ekspor ke AS dan Amerika Latin menyumbang 13,6 persen kepada total penjualan ekspor, dan ekspor adalah motor utama keuntungan Sritex.

Melihat kinerja cemerlang di tengah kelesuan ekonomi global dan perang dagang, Sritex pun bersyukur. Apalagi pasar tekstil dunia sangat ketat, terutama harus bersaing dengan Vietnam dan Bangladesh. Iwan Setiawan pun menuturkan rahasia Sritex dalam memenangi persaingan. Misalnya Sritex unggul dalam fasilitas produksi dari hulu ke hilir sehingga bisa menarik minat investor dan jenama internasional untuk mengalihkan pesanan dari Tongkok ke Indonesia. “Sometimes pergi ke Vietnam, tekstil konsolidasi mana yang kuat? Indonesia kuatnya apa? Retailer punya hitungan tersendiri,” imbuhnya. Selain itu, Sritex menerapkan strategi yang tepat sehingga pertumbuhannya kuat dan berkelanjutan. Itu sebabnya Sritez mencatat peningkatan laba bersih hingga 12,29 persen pada semester I 2019 menjadi AS $63,25 juta.

Iwan Setiawan menambahkan tekstil dan pakaian masih menjadi sektor industri manufaktur yang tumbuh tertinggi pada kuartal II 2019 sebesar 20,71 persen. Pertumbuhan ini lebih tinggi dibandingkan dengan sektor industri kertas dan makanan minuman. Peningkatan industri tekstil didukung oleh peningkatan produksi di beberapa sentra di Indonesia sehingga masih mampu bersaing di kancah internasional. Namun begitu, Sritex masih mencemaskan tekstil ilegal dari Tiongkok, apalagi negara tersebut baru saja mendevaluasi nilai mata uang yuan sehingga produk mereka bisa menjadi lebih murah di pasar luar negeri. “Ini terus kami komunikasikan ke pemerintah soal masuknya barang impor dari Tiongkok sehingga perlu proteksi industri tekstil,” ungkap Wakil Direktur Utama Sritex, Iwan Kurniawan Lukminto. Untuk mengatasi itu, selain dengan pemerintah, Sritex akan melakukan sinergi dengan para pelaku usaha dari hulu ke hilir untuk memperbesar industri tekstil Indonesia. Apalagi industri tekstil mampu menyerap lebih banyak tenaga kerja.

Kejar pasar milenial

Sritex adalah pemasok terpecaya untuk seragam militer di berbagai negara serta jenama fashion seperti Uniqlo dan H&M. Sritex pada awalnya hanya berupa kios pakaian sederhana di Pasar Klewer, Solo, Jawa Tengah, pada 1966. Lukmanto, sang pendiri, memberinya nama UD Sri Rejeki. Memasuki usia ke-53 tahun, Sritex kini mulai mengejar pasar milenial. Mereka mendirikan divisi kecil yang khusus melayani dan menampung ide kaum milenial. Divisi khusus ini juga melayani pesanan dari kaum muda meski masih skala kecil. Menurut Iwan Setiawan, biasanya kalangan muda pesan 100 atau 200 potong. “Jadi mereka bisa order ke kami langsung dengan menggunakan kain-kain produksi kami, meski dengan minimum order yang kecil” ujar Iwan Setiawan.

 

Hedi Novianto